Angklung. Alat musik ini terdiri dari tiga tabung bambu yang digantung berderet. Cara memainkannya dengan digoyang atau diguncang-guncangkan. Ketiga tabung tadi ditata dengan perbedaan nada satu oktaf, atau ada yang ditata dengan nada do-mi-sol.
Jenis bambu yang lazim digunakan untuk alat musik ini adalah bambu berwarna hitam dan bambu berwarna putih. Ukuran tabung bambu angklung berbeda-beda. Ukurannya menentukan bunyi tinggi-rendah nada. Tidak diketahui secara pasti kapan angklung ini tercipta.
Angklung gubrag yang berasal dari Jasinga, Bogor diyakini sebagai jenis angklung yang paling tua, yang hidup sejak 400 tahun lampau. Jenis Angklung yang ada di Jawa Barat, yaitu angklung baduy, angklung dogdog lojor, angklung gubrak, angklung badeng, angklung buncis, dan angklung bungko, dan angklung soetigna.
Selain di daerah Jawa Barat, alat musik angklung (atau mirip angklung) juga dikenal di daerah lain, seperti di Bali dan Banyuwangi. Dalam mitologi Bali, angklung berasal dari kata “angk” yang artinya angka atau nada dan “lung” yang artinya hilang.
Di Bali cara memainkan angklung berbeda. Tabung-tabung bambu digantung dengan posisi miring dan dipukul dengan tongkat. Sedangkan di Banyuwangi terkenal angklung carok. Di daerah ini, angklung dimainkan dengan nada yang sambung menyambung.
Di Jawa Barat, syahdan angklung merupakan alat musik pengiring lagu-lagu persembahan kepada Nyai Sri Pohaci. Nyai Sri Pohaci adalah sosok penjelmaan Dewi Sri pemberi kesuburan.
Masyarakat Sunda menggoyang-goyangkan tabung bambu, yang dikemudian hari dikenal sebagai alat musik anglung, untuk memikat sang dewi agar turun ke bumi guna memberi berkah kesuburan bagi tanaman padi mereka.
Pada saat panen alat musik dari tabung bambu ini juga dimainkan. Dari sini angklung mulai menyebar di masyarakat. Tercatat pada 1908 ada sebuah misi kebudayaan Indonesia ke Thailand. Misi ini ditandai dengan penyerahan angklung. Saat itu angklung sempat digemari penduduk di sana dan menyebar di negara itu.
Pada masa kolonial Belanda, angklung dimanfaatkan sebagai alat pemacu semangat perjuangan rakyat melawan penjajah. Oleh karena itu pada masa ini permainan angklung dilarang pemerintah kolonial. Akibatnya, angklung menjadi kurang populer di masyarakat dan hanya dimainkan oleh anak-anak dan para pengemis. Angklung diatonis dikreasi oleh Daeng Soetigna. Angklung diatonis merupakan cikal-bakal angklung modern yang terdiri dari 8 tangga nada (do-re-mi-fa-so-la-si-do). Angklung yang dikreasi Daeng adalah jenis angklung buncis. Angklung ini ukurannya kecil. Daeng Soetigna lahir di Garut pada 1908. Cerita berawal ketika dua orang pengemis datang ke rumah Daeng di Kuningan.
Dua orang pengemis itu memainkan angklung dengan nada pentatonis. Permainan angklung mereka membuat Daeng tergetar. Lalu ia membeli dua angklung yang membuat hatinya bergetar itu. Setelah angklung tersebut berada di tangannya, ia berpikir untuk menggubah angklung pentatonis menjadi diatonis.
Namun masalahnya, Daeng tidak dapat membuat angklung. Karena itu ia kemudian meminta bantuan seorang pakar angklung bernama Djaya. Setelah belajar membuat angklung, singkat cerita, ia paham cara teknik membuat angklung. Ia kemudian bereksperimen untuk membuat angklung diatonis. Pada 1938, cita-cita Daeng untuk membuat kreasi angklung diatonis berhasil ia wujudkan.
Setelah keberhasilan eksperimennya itu, Daeng yang menetap di Kuningan dan bekerja sebagai pengajar di sekolah setingkat SMP di sana memperkenalkan angklung hasil kreasinya ke anak-anak pramuka asuhannya. Pada mulanya permainan angklung masih ditentang untuk diajarkan di sekolah, tetapi akhirnya dapat diterima dan lalu bisa diajarkan di sekolah. Setelah Daeng pindah ke Bandung, permainan angklung hasil kreasinya makin dikenal oleh masyarakat luas.
Pada 11 November 1946, Presiden Soekarno meminta Daeng untuk memainkan angklung diatonisnya di hadapan para peserta perundingan Linggajati. Pada acara Konferensi Asia-Afrika tahun 1955 di Gedung Merdeka Bandung, presiden Soekarno juga meminta Daeng mengadakan konser angklung hasil kreasinya untuk menjamu tamu-tamu negara. Dari sini “mata dunia” mulai melihat keindahan permainan musik angklung kreasi Daeng.
Keindahan bunyi nadanya membuat mereka berniat belajar memainkan angklung. Selain itu, Daeng juga berhasil memainkan lagu klasik An der schonen blauen Donau, karya Johan Strauss, dengan angklung diatonisnya (Ensiklopedia Indonesia). Angklung diatonis kreasi Daeng dapat dipadukan dengan alat-alat musik modern Barat.
Daeng Soetigna meninggal pada 8 April 1984. Sepeninggalnya, angklung diatonis hasil kreasi Daeng berkembang dan makin dikenal masyarakat dunia. Masyarakat dari segala penjuru dunia, terutama orang-orang Eropa, tertarik untuk mengenal lebih jauh alat musik ini. Pengenalan angklung ke dunia internasional dilakukan melalui konser, festival budaya, dan misi kebudayaan.
Pada 9 November 2007, atas jasa-jasanya, Daeng Soetigna dianugerahi Bintang Budaya Parama Dharma dari Pemerintah RI. Penghargaan ini merupakan penghargaan kedua dari pemerintah, setelah pada 1968 Daeng Soetigna juga menerima anugerah Satya Lancana Kebudayaan. Produk hasil budaya bangsa kita ini harus kita jaga dan lestarikan bersama-sama. (*)
FANDY HUTARI, Penulis Lepas. Menulis buku Sandiwara dan Perang; Politisasi Terhadap Aktifitas Sandiwara Modern Masa Jepang